A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar anak manusia, karena dengan pendidikanlah kita akan memahami segala sesuatu, terlebih dapat menggapai kebahagiaan karena memiliki ilmu. Setiap orangtua pasti menginginkan putra-putrinya menjadi orang yang berbahagia dan bermanfaat. Dengan demikian, dibutuhkan cara atau metode yang tepat dalam mendidik anak sehingga ia dapat dikonstruk sedemikian rupa, sebagaimana yang diharapakan oleh Qu’ran, yakni menjadi anak yang shalih dan shalihah.
Hal ini sangat sesuai dengan dengan tujuan pendidikan, antara lain; mewujudkan bimbingan pada manusia agar tidak binasa dengan hukum-hukum alam, mewujudkan kebahagiaan pada hambanya, dan menjadikan manusia yang intelek, dan mempunyai derajat yang tinggi. Tujuan pendidikan ini juga sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Orangtua yang bijak sudah barang tentu mengharapkan anak yang dicintainya tumbuh menjadi manusia shalih dan shalihah, memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keinginan itu tentu harus disertai dengan upaya untuk mewujudkannya. Dalam hal ini, Luqman adalah figur yang baik dalam mendidik anak-anaknya, sehingga ia patut dijadikan sebagai teladan. Nasihat-nasihat yang diberikan kepada anaknya–jika kita kerjakan, dapat mengantarkan anak kita meraih keinginan mulia tersebut.
Secara keseluruhan, ada dua perkara penting yang dinasihatkan Luqman kepada putranya, yaitu menyangkut persoalan keyakinan (akidah). Luqman menasihati putranya agar tidak mempersekutukan Allah Swt. (QS. Lukman [3]: 13). Ia pun mengingatkan anaknya bahwa Allah Swt. yang Mahatahu atas segala sesuatu–di langit maupun di bumi, akan membalas semua amal perbuatan manusia, seberat apa pun amal perbuatan itu (QS. Lukman [3]: 16).
Selanjutnya, berkaitan dengan pelaksanaan amal yang menjadi konsekuensi tauhid, baik menyangkut hubungan manusia dengan al-Khaliq, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesama manusia. Pada ayat 17, Luqman memerintahkan anaknya untuk mendirikan shalat (hubungan manusia dengan al-Khaliq), melakukan amar makruf nahi mungkar (hubungan manusia dengan sesamanya), dan meneguhkan sifat sabar dalam jiwanya (hubungan manusia dengan dirinya sendiri).
Seorang Luqman juga mengingatkan anaknya untuk menjauhi larangan-larangan Allah Swt. Sifat sombong dan perilaku angkuh adalah di antara perbuatan yang harus dijauhi (QS. Lukman [3]: 18). Sebaliknya, sifat yang harus dilekatkan adalah menyederhanakan langkah dan melunakkan suara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua nasihat Luqman itu berorientasi pada keselamatan agama anaknya. Ia menginginkan anaknya menjadi manusia yang taat kepada Tuhannya dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan jalan itu kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diraihnya.
B. Memetik Kisah, Menuai Hikmah
Jika diperhatikan kisah-kisah dalam al-Quran, hal yang sama juga dilakukan para nabi dan rasul. Mereka semua amat menginginkan anaknya menjadi orang yang berpegang teguh kepada agama yang benar, seperti yang dikabarkan Allah Swt., dalam (QS al-Baqarah [2]: 132).
•
“Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Juga kisah Lukman mengisahkan bagaimana ia mendidik anaknya, agar tidak sekali-kali menyekutukan Allah Swt., karena perbuatan yang demikian termasuk kezaliman di mata Tuhan, sebgaimana QS Luqman [31]: 13 yakni:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Ayat ini merupakan sepenggal kisah tentang nasihat-nasihat Luqman kepada putranya. Karena ada kisah tersebut, surat ini dinamakan surat Luqman. Secara umum, surat Luqman termasuk surat Makiyyah. Seperti layaknya surat Makiyyah, surat ini lebih menitikberatkan pada tema-tema akidah, mengenai keesaan Allah Swt (wahdaniyyah), kenabian, dan hari kebangkitan.1
Pada ayat ini Allah Swt. mengingatkan nasihat-nasihat bijak sosok Luqman. Nasihat yang amat bernilai itu diawali dengan peringatan menjauhi perbuatan syirik. Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa Luqman yang dimaksud dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan, ia adalah Cicit Azar (Bapak Nabi Ibrahim as). Sebagian lagi berpendapat, ia adalah keponakan Ayyub dari Saudara perempuannya. Adapula yang menyebutkan, ia adalah sepupu Ayyub dari bibinya.2 Adapun menurut Ibnu Katsir, ia adalah Luqman bin Anqa bin Sadun. Para mufassir juga berbeda pendapat tentang asal-usul, tempat tinggal, dan pekerjaannya.
Tidak bisa dipastikan pendapat mana yang paling benar. Sebab, al-Quran tidak merinci siapa sesungguhnya Luqman yang dimaksud. Sebagai kitab yang berfungsi menjadi petunjuk dan pelajaran bagi manusia, penjelasan tentang hal itu tidak terlampau penting. Sedang yang lebih urgen justru pelajaran apa yang dapat kita petik dari kejadian tersebut?
Di dalam al-Quran banyak kisah yang hanya diceritakan peristiwanya, tanpa dirinci waktu, tempat terjadinya, kronologi dan pelakunya; layaknya buku sejarah. Demikian pula dengan kisah Luqman dalam ayat ini. Al-Quran hanya memberitakan bahwa dia termasuk orang yang mendapat limpahan al-hikmah dari-Nya. Allah Swt. berfirman dalam QS Luqman [31]: 12.
•
“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.3 Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik. Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian.4 Hikmah dari Allah Swt. bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam agama dan akal.
Berbeda dengan pendapat di atas, Ikrimah, as-Sudi, dan asy-Sya’bi. Mereka menafsirkan al-hikmah sebagai kenabian. Karena itu, menurut mereka, Luqman adalah seorang Nabi.5 Pendapat ini berbeda dengan jumhur ulama yang berpandangan bahwa dia seorang hamba yang shalih, bukan Nabi.
Kendati bukan Nabi, Luqman menempati derajat paling tinggi. Ia adalah orang yang kamil fi nafsih wa mukmil li ghayrih, yakni orang yang dirinya telah sempurna sekaligus berusaha menyempurnakan orang lain. Kesempurnaan Luqman ditunjukkan dalam ayat sebelumnya, bahwa dia termasuk hamba Allah Swt. yang mendapat hikmah dari-Nya. Adapun upayanya untuk membuat orang lain menjadi sempurna terlihat pada nasihat-nasihat yang disampaikan kepada putranya.
Dalam ayat itu disebutkan wa huwa ya’izhuh. Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau al-‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan ungkapan halus yang bisa melunakkan hati.6 Karena itu, dalam mendidik anaknya, Luqman menempuh cara yang amat baik, yang bisa meluluhkan hati anaknya sehingga mau mengikuti nasihat-nasihat yang diberikan.
“Ya bunayya la tusyrik billah (Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah),” pintanya. Sangat terlihat Luqman memanggil putranya menggunakan redaksi tasghir: ya bunayya. Hal itu bukan untuk mengecilkan atau merendahkan, namun untuk menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anaknya. Dengan panggilan seperti itu, diharapkan nasihat yang disampaikan lebih mudah diterima.
Nasihat pertama yang disampaikan kepada putranya itu adalah la tusyrik billah (jangan mempersekutukan Allah). Mempersekutukan Allah adalah mengangkat selain Allah Swt. sebagai tandingan yang disetarakan atau disejajarkan dengan-Nya. Ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh salah seorang sahabatnya, Wail bin Abdullah ra., mengenai dosa apa yang paling besar, beliau menjawab:
Syirik, yakni kamu menjadikan tandingan bagi Allah (HR an-Nasa’i).
Larangan syirik ini berlaku abadi. Bahkan tidak seorang rasul pun yang diutus Allah Swt. kecuali menyampaikan larangan tersebut. (Lihat: QS az-Zumar [39]: 65). “Inna asy-syirk la zhulm ‘azhim (Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar). Dalam nasihatnya, Luqman tidak saja melarang syirik, namun juga menjelaskan alasan dilarangnya perbuatan tersebut. Di tiap nasihatnya, Luqman selalu berorientasi pada sebab-akibat dari nasihat yang ia sampaikan.
Secara bahasa azh-zhulm (kezaliman) berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.7 Syirik disebut azh-zhulm karena menempatkan Pencipta setara dengan ciptaan-Nya, menyejajarkan Zat yang berhak disembah dengan yang tidak berhak disembah, atau melakukan penyembahan kepada makhluk yang tidak berhak disembah. Banyak ayat al-Quran yang menyebut perbuatan syirik sebagai azh-zhulm (Lihat, misalnya: QS al-An‘am [6]: 82).
Selain kezaliman besar, dalam ayat lain, syirik juga disebut sebagai kesesatan yang nyata (QS. Saba’ [34]: 24) dan amat jauh (QS. an-Nisa’ [4]: 116). Karena itu, wajar jika syirik dinilai sebagai dosa terbesar dan tidak ada dosa yang melebihinya. Jika dosa-dosa lain, manusia masih bisa berharap mendapat ampunan dari Allah Swt., tidak demikian dengan syirik. Siapa pun yang telah melakukan perbuatan syirik, dan tidak bertobat, lalu meninggal dalam kesyirikan, maka tidak akan diampuni Allah Swt. (QS an-Nisa’ [4]: 48, 116). Lebih dari itu, syirik akan menyebabkan terhapusnya semua amal yang dikerjakan manusia (QS az-Zumar [39]: 65). Pelakunya diharamkan masuk surga (QS al-Maidah [5]: 72), sebaliknya ia kekal di dalam neraka (QS al-Bayyinah [98]: 6). Oleh karenanya, syirik menyebabkan penyesalan yang tak terbayarkan bagi pelakunya (QS al-Kahfi [18]: 42).
C. Akidah: Hal Utama yang Mesti di Nasihatkan
Pantas kita garisbawahi urutan perkara yang dinasihatkan Luqman. Pertama kali yang ia nasihatkan adalah perkara akidah. Ia menginginkan anaknya lurus akidahnya. Setelah itu, baru menyangkut perkara amaliah. Pilihan ini tentu bukan suatu kebetulan. Sebab, dari berbagai sisi, akidah memang harus didahulukan. Mengapa demikian? Karena seorang anak yang tidak memiliki akidahyang benar dan kokoh, maka ia akan mudah terjebak dengan kesesatan, minimal terjaga dari pendangkalan akidah, yang bakal merusak nilai akidah itu sendiri.
Akidah merupakan penentu status manusia, tergolong sebagai orang mukmin atau kafir. Orang yang meyakini akidah yang benar adalah orang mukmin. Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah tersebut tergolong sebagai orang kafir. Turunannya, perbedaan status ini akan menentukan nasib kita, memperoleh bahagia atau sebaliknya. Di akhirat kelak, orang-orang kafir akan menjadi penghuni neraka (QS al-Bayyinah [98]: 6), sebaliknya orang-orang Mukmin dan beramal shalih akan menjadi penduduk surga (QS al-Bayyinah [98]: 8).
Keyakinan pada akidah yang benar juga menjadi syarat diterimanya amal. Allah Swt. hanya menerima amal yang dikerjakan orang-orang mukmin. Sebaliknya, amal perbuatan orang-orang kafir sama sekali tidak dinilai pada hari kiamat kelak (QS al-Kahfi [18]: 105). Semua amalnya pun terhapus dan sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 217; QS at-Taubah [9]: 69), dan laksana debu yang diterbangkan (QS al-Furqan [25]: 23). Itu berarti, perbaikan amal perbuatan tanpa didahului dengan penerimaan pada akidah yang benar tidak akan berguna.
Selain itu, perbuatan manusia juga sangat ditentukan akidahnya. Orang yang meyakini akidah Islam akan terikat dengan syariah. Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah Islam dipastikan akan mengabaikan ketetapan syariah. Oleh karenanya, siapa pun yang hendak memperbaiki perilaku seseorang, harus meluruskan akidahnya terlebih dahulu.
Jika dicermati dalam al-Quran, para nabi dan rasul juga melakukan hal yang sama. Mereka mendahulukan seruan akidah sebelum lainnya. Demikian juga dengan Rasulullah saw. Yang pertama kali rasul dakwahkan ke tengah masyarakat Jahiliah adalah perkara akidah. Sedang ayat-ayat yang turun di awal dakwahnya juga menekankan pada akidah.
Rasulullah saw. juga memerintahkan para sahabatnya untuk menyerukan kepada akidah terlebih dulu sebelum menjelaskan ketetapan lainnya. Ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal ra. ke Yaman yang mayoritas penduduknya Ahlul Kitab, beliau memerintakan agar perkara pertama yang didakwahkan kepada mereka adalah mengesakan Allah Swt., baru setelah itu dijelaskan tentang kewajiban mendirikan shalat lima waktu dalam sehari semalam serta membayar zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Abu Dawud).
D. Meretas Pendidikan Anak Dengan Lafaz Tahlil
Dalam pendidikan anak, Rasulullah saw. telah memerintahkan para orangtua untuk menekankan pendidikan akidah. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Ajarkan kalimat La ilaha illa Allah kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama. (HR al-Hakim).
Abd ar-Razaq meriwayatkan bahwa para sahabat menyukai untuk mengajari anak-anak mereka dengan kalimat La ilaha illa Allah sebagai kalimat yang pertama kali dapat mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali sehingga kalimat itu menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.18
Mengesakan Allah dan mengakui Muhammad sebagai Rasul, sesungguhnya termasuk perbuatan mulia. Yang demikian itu termasuk nilai keber-Islaman kita. Barangsiapa yang hendak bertemu dengan Allah Swt., dikelak hari kemudian, maka ia harus mengerjakan amal shalih dan tidak mempersekutukan Allah8. Demikianlah teladan dari orang-orang bijak dalam mendidik anaknya. Pastinya, kita juga menginginkan anak-anak yang kita asuh meraih bahagia dan surga. Mendidik anak bukan hanya bertalian langsung dengan pembentukan karakter kepribadian, tapi lebih dari itu, ia selalu diajari untuk mengenal Tuhannya, melalui berbagai amalan.
E. Analisa Tafsir QS. Luqman [31]: 12-13
Kedua surat ini mengajarkan kepada kita semua agar berhati-hati dalam mendidik anak, terutama berkaitan dengan keesaan Allah Swt. Menjauhi segala pengabdian di luar ke-Tuhanan adalah mutlak merupakan sesuatu yang harus diajarkan kepada putra-putri kita di awal usia, menjelang remaja. Larangan berbuat syirik sangat ditekankan kepada kita oleh Allah melalui Luqman, juga terutama bagi anak-anak kita.
Walaupun larangan berbuat syirik sifatnya umum, kita juga dituntut untuk senantiasa mewaspadainya, terutama pendidikan anak anak. Usia remaja sangat efektif dalam membentuk karakter keilahian pada keturunan kita. Doktrin agar tidak terjerumus pada kemusyrikan merupakan hal mendasar yang harus ditanamkan pada setian anak.
Kemudian, setelah seorang anak memiliki kekokohan dalam akidah, maka pendidikan yang kita berikan adalah bagaimana ia menjadi orang yang senantiasa bersyukur atas nikmat Allah Swt. Karena apabila anak kita belum tahu urgensi syukur, maka yang terjadi ia akan kerap ingkar. Walaupun anak kita tidak bersyukur, sesungguhnya Allah maha kaya dan terpuji. Hal yang paling pantas untuk kita contoh adalah kelembutan dan kasih sayang, tampak pada diri Lukman. Profil Lukman tidak mengenal otoritarianisme dalam mendidik anak.
Pelajaran mahal yang dapat kita petik dari kedua ayat ini adalah, Allah Swt menganugrahkan hikmah kepada Lukman. Dimana menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbahnya mengartikan kata hikmah sebagai sesuatu yang bila digunakan akan menghalangi terjadinya mudarat, atau kesulitan yang lebih besar. Lebih lanjut Ketua PSQ Lentera Hati ini menjelaskan bahwa, hikmah yang dianugerakan kepada Luqman, yang kemudian ditularkan pada putranya adalah masalah syukur.
Barangsiapa bersyukur maka ia telah berbuat baik pada dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka ia merugikan diri sendiri, bukan Allah Swt.9. Hal ini yang kerap tidak dipahami oleh kebanyakan diantara kita. Kita berasumsi bahwa Allah Swt membutuhkan ibadah-ibadah kita, termasuk bersyukur. Meraka bermaksud menipu Allah, bahwa dengan berbuat kufur–dirinya merasa tidak rugi, bahkan menganggap Allah-lah yang berugi10. Luqman merupakan sosok ayah yang sangat dikagumi karena pintarnya dalam mendidik putranya. Apa yang diwasiatkan Luqman kepada anaknya (dahulu) dan kita saat ini, sungguh termasuk sumbangan berharga dalam mendidik anak bangsa, menjadi generasi yang senantiasa beribadah dan mengesakan Allah Swt, ganderung bersyukur, dan jauh dari sifat ingkar atas pelbagai nikmat-Nya.
***
Catatan kaki:
1 Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, II/451
2 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, III/1446, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.
3 Shihab al-Din al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, xi/84; Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143.
4 Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-آyat wa as-Suwar, VI/13, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
5 Mahmud Hijazi, at-Tafsir al-Wadhih, III/47, an-Nashir, 1992.
6 Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsir al-Kabir Aw Mafatih al-Ghayb, XIII/128, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
7 Muhammad Suwaid, Mendidik Anak bersama Nabi, terj. Salafudin A. Sayyid, hlm. 133, Pustaka Arafah, Solo. 2003
8 Qutub, Sayyid. Tafsi Fi Zhilalil-Qur’an VII, Gemaa Insani Press, Jakarta,2003,hlm. 247
9 Hamid, Abdul Kisyk, 10 Wasiat Ilahi dalam al-Qur’an, terj. Al wasiyat Al asyr, Mitra Pustaka: 2005, hlm. 18
10 Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah 11; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2003, hlm. 120-121
DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur-an al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997
Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, II
Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-آyat wa as-Suwar, VI,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsir al-Kabir Aw Mafatih al-Ghayb, XIII,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
Hamid, Abdul Kisyk, 10 Wasiat Ilahi dalam al-Qur’an, terj. Al wasiyat
Al asyr, Mitra Pustaka: 2005
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, III, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.
Mahmud Hijazi, at-Tafsir al-Wadhih, III, an-Nashir, 1992.
Qutub, Sayyid. Tafsi Fi Zhilalil-Qur’an VII, Gemaa Insani Press,
Jakarta, 2003
Shihab al-Din al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, xi; Wahbah az-Zuhayli,
Tafsîr al-Munîr, XI
Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak bersama Nabi, terj. Salafudin
A. Sayyid, Pustaka Arafah, Solo. 2003
Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah 11; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2003
http://thejargon.multiply.com, diakses tanggaL 23 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar